Mata-mata para pencari bakat mulai berkeliaran di kampus. Mereka adalah agen yang cukup lihai dalam melihat situasi kerumunan mahasiswa. Membawa misi messiah dari titah para ketua cabang untuk menyebarkan ajaran organisasinya dan yang utama menggiring mahasiswa masuk dalam kelompoknya. Kemampuan komunikasi yang di atas rata-rata melebihi gaya berkomunikasi para sales kompor gas menjadikan mereka makin percaya diri dalam menawarkan organisasinya tak lupa iming-iming spektakuler pun menjadi senjata andalan sebagai bumbu penyedap rekruitmen. Semangat pantang menyerah menjadikan mereka orang yang gigih dalam memenangkan pertempuran sebab eksistensi organisasi ditentukan oleh masa yang membludak dan memang ini menjadi modal utama agar organisasinya tetap menjadi nomor satu dalam birokrasi kampus.
Bak kalajengking yang banyak muncul di musim hujan. Momentum penerimaan mahasiswa baru dan tahun ajaran baru di kampus menjadi ajang dakwah besar-besaran dalam rangka mengajak mahasiswa menjadi pengikutnya. Seperti halnya kalajengking yang memiliki sengatan bisa di ujung ekor sebagai senjata. Iming-iming seperti mudah mendapat beasiswa, dekat dengan dosen, mendapat perlakuan istimewa dari TU atau fakultas dan mudah mendapat kursi job di departemen. Mereka berdalih orang-orang yang bekerja di administrasi kampus dan departemen tertentu adalah jebolan oraganisasinya alias alumni pantas saja jika sentimen identitas kelompok yang diutamakan─oligarki. Siapapun yang mendengarkan tawaran menjanjikan ini pasti kelimpungan dan mengiyakan untuk bergabung. Ini semacam bisa kalajengking yang paling mutakhir. Satu serangan akan melumpuhkan akal sehat sekelompok mahasiswa. Tak heran jika target utama adalah mahasiswa semester pertama pasalnya mereka polos belum banyak memahami situasi politik kampus juga semangat ingin tahu yang masih besar, dan keinginan untuk eksis dalam suatu kelompok. Sehingga mahasiswa baru bak bunga indah yang sedang mekar di taman siap dipanen. Kondisi ini sungguh dimanfaatkan baik oleh mereka yang memiliki kepentingan praktis.
Pemetaan organisasi di kampus terbagi dua. Organisasi internal kampus atau yang akrab dikenal UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) adalah organisasi yang diakui kampus sebagai sarana pengembangan minat dan bakat mahasiswa. Identifikasi organisasi ini tak begitu memainkan peran politis dalam arena birokrasi kampus semata sebagai penyaluran hobi saja. Dengan beragam pilihan dari yang berbau religius hingga yang berbau keringat tersedia (baca: UKM Olahraga, seperti UKM Liga, Voli, Basket, dan lain-lain). Selanjutnya organisasi ekternal kampus adalah organisasi luar yang tak dilegalkan kampus secara administratif tapi seperti membuka cabang di kampus. Organisasi ini banyak memainkan peran dalam menahkodai politik di kampus dari pemilihan ketua HMJ hingga pejabat universitas. Bahkan konflik antarmahasiswa kerap diwarnai oleh ego politik dari organisasi eksternal. Seolah ingin menunjukan bahwa politik harus diperjuangkan dengan segenap jiwa dan raga. HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HIMA (Himpunan Mahasiswa) Persis, HIMA (Himpunan Mahasiswa) PUI, dan sebagainya, adalah macam dari organisasi eksternal di kampus. Tapi peran HMI dan PMII yang paling menonjol di antara yang lain sebab selain memiliki jumlah masa yang banyak juga paling lihai dalam berpolitik di kampus.
Dan usaha rekruitmen bagian dari prasyarat untuk menggelindingkan roda kekuasaan. Mahasiswa baru yang terjaring sebagai anggota seperti gerigi roda yang menjalankan mesin untuk terus berputar. Di sini awal dari pembiuasan kesadaran mahasiswa menjadi mekanistis yang siap diperintah dan hidup dalam kungkungan aturan yang serba prosedural. Kebebasan berfikir dan kritis terpasung oleh sentimen kelompok. Selanjutnya sebagai usaha mengelabui kesadaran diciptakan pembelajaran organisasi yang butuh keseriusan tingkat tinggi semacam mempelajari isi poin per poin draft sidang. Atau mungkin dipacarin para seniornya agar betah dan setia pada jalan politik yang dimainkan.
Libido politik memuncak
Perjuangan politik hanya berkutat pada sidang POK yang menyita waktu dan omong kosong, sistem delegasi yang diprioritaskan dengan alasan hemat anggaran, sistem pemilihan elit mahasiswa dari tingkat jurusan hingga dewan mahasiswa yang sembunyi-sembunyi dan tak punya rasa malu dilakukan dengan argumentasi demokrasi. Entah buku apa yang mereka baca terkait demokrasi semacam itu. Proses dari itu menghasilkan elit mahasiswa yang reaksioner dan oportunis. Reaksioner jika mereka mendapat kritik dari lawan politiknya dengan argumentasi pembelaan yang berdarah-darah seolah teraniaya. Oportunis adalah sifat yang menjamur sejak lama dalam aktivitas politiknya. Mereka senantiasa memposisikan pada situasi dan kondisi senyaman mungkin termasuk nyaman dalam memainkan anggaran. Memang keuntungan berorganisasi semacam ini selain bisa belajar cara bersidang juga arena mengais rezeki. Inilah embrio dari pemimpin bangsa yang korup.
Warna politik yang tak mengedepankan kepentingan dan kebutuhan mahasiswa hanya akan menjadi parasit yang lambat laun mematikan demokratisasi di kampus. Ego politik yang muncul melulu pada orientasi kepentingan kelompok dan sistem yang diciptakan sebisa mungkin memberi keuntungan sebesar-besarnya pada kelompok dan menciptakan ruang sangat sempit agar posisi lawan tak dapat bermanuver politik dengan leluasa. Politik yang dimainkan memang cukup memberi kesan dramatis sekaligus memalukan. Akal sehat disimpan saat mereka beradu politik maka tak ayal keputusan politik yang muncul lebih mirip zombi. Libido kepentingan yang memuncak membuat lupa daratan dan tak sadar telah menelanjangi dirinya. Pantas jika mereka jarang berpentas dalam dunia ilmiah yang jantan. Membuat jurnal pun jauh dari kesan ilmiah (baca: riset) hanya curhatan belaka.
Keberadaan organisasi politik di kampus sejauh ini hanya ramai pada strategi perebutan kekuasaan selain itu pembuatan program juga jauh dari kebutuhan mahasiswa. Sebab bagaimana bisa memahami kebutuhan mahasiswa jika pemilihan wakil mahasiswa dari tingkat jurusan hingga universitas dilakukan secara sembunyi seolah ini bukan urusan mahasiswa secara umum. Hak suara mahasiswa tak dihargai sama sekali sebab sistem delegasi telah mematikannya. Jadi berkuasanya mereka dalam tataran birokrasi kampus tak banyak memberi perubahan signifikan bagi dinamika perubahan sosial di kampus. Khususnya menjawab kebutuhan mahasiswa. Keberadaan mereka dalam berpolitik di kampus tak lebih dari sekawanan parasit yang menghisap. [Yanuhardi]
0 komentar:
Posting Komentar