Kita berada di dunia yang sedang digenggam oleh mereka yang hendak menjadi sang tuan─kapitalisme. Sang tuan yang begitu culas terhadap mereka yang miskin bahkan jijik untuk dilihat. Para pejabat Negara bersimpuh untuk melayani sang tuan, dengan segala kebijakan yang dikeluarkan demi melayani sang tuan, yaitu dimudahkannya izin mendirikan perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengeruk laba habis-habisan di negeri yang kaya ini. Politikus tak ketinggalan menjadi hamba sang kapital agar dirinya mendapat tunjangan dana kampanye hingga akhirnya terpilih jadi pejabat. Maka tak heran apabila terjadi simbiosis mutualisme yang menjijikan demi meraup kepentingan bersama. Kaum intelektual ikut-ikutan menjadi pembela apabila sang tuan melakukan kehilafan, ketika kebocoran pipa milik perusahaan Lapindo disinyalir sebagai akibat gempa bumi Yogyakarta dan diabsahkan dengan dalil ilmiah. Hingga akhirnya sang tuan bebas perkara dan berterima kasih atas kerja ilmiah kaum intelektual yang minus.

Perlakuan terhadap mereka yang miskin menjadi pemandangan akrab dimata kita. Dari penggusuran lapak PKL hingga penembakan para petani. Mereka menjadi kawanan yang meresahkan dan mengganggu bak ulat bulu yang musti diberantas. Nasib mereka memang kurang mujur hidup di negeri yang katanya subur dan kaya ini. Beban hidup yang semakin menggila seolah tak henti-hentinya menghinggapi hidup mereka, beras sudah menjadi barang mewah, maka tak ayal busung lapar dan gizi buruk merebak menjadi wabah yang nista bagi negeri ini. Petani dipisahkan dari tanahnya secara paksa dengan UU Hak Pengadaan Tanah hasil kerjaan dari para bedebah busuk di Senayan dan korporasi serakah. Membuat UU sesuai dengan pesanan asal sesuai dengan bayaran, tak peduli petani dan keluarganya kelaparan karena tanah mereka dijarah para perampok berdasi. UU tersebut dimaksudkan agar pengusaha melenggang bebas mendirikan perusahaan dimana pun ia mau, tak perlu khawatir bakal terjadi tuntutan dari petani atau pun warga sekitar sebab tindakan mereka terlindungi oleh UU, petani yang berusaha mempertahankan tanahnya akan dijatuhi pasal yang menindas ini, jika mereka masih bersikukuh maka aparat siap menyeret mereka ke penjara atau bahkan diculik, lebih celakanya UU ini dibuat demi kepentingan umum. Sungguh alasan yang bodoh dan naif. Mereka lupa jika tanah pertanian telah menghidupi banyak orang termasuk mereka yang mengaku wakil rakyat. Pantas jika UU ini dibuat sedemikian cepat bahkan Juli mendatang akan disahkan, melihat perlawanan petani yang begitu gigih mempertahankan haknya walaupun mereka menjadi korban, seperti tragedi Tanah Awuk (2005), kriminalisasi petani di Garut (2006), penembakan petani di Rengas Ogan Ilir Sumatera Selatan (2009), dan terbaru penembakan petani di Kebumen yang tidak mau tanahnya dijadikan areal latihan militer TNI. Contoh ini hanya beberapa bukti petani menjadi korban arogansi aparat yang seharusnya melindungi hak mereka malah menjadi monster yang memperkosa hak mereka secara beramai-ramai. Sungguh mayat dari aparat macam ini tak layak dikubur di belahan bumi manapun.
Petani: Suara Mahasiswa? Petani saat ini tengah merindukan suara-suara mahasiswa yang katanya mengaku agents of change, dimata mereka suara mahasiswa mampu merobohkan pemimpin orba yang angkuh sehingga ini yang mereka butuhkan untuk melawan UU yang menindas hak mereka, tapi setelah mereka tahu jika mahasiswa sekarang sibuk dengan tugas dan berpolitik maka mereka pun sangsi untuk meminta tolong kepada mahasiswa apalagi dengan tuntutan mahasiswa untuk cepat lulus lalu bekerja, membuat mereka semakin tak mau membebani mahasiswa dengan perjuangan melawan elit yang penuh resiko. Mahasiswa memang saat ini tengah menikmati hidup hasil reformasi yang mereka perjuangkan. Jadi menurut teori, mereka sekarang sistem yang telah kembali ke titik equilibrium sebelumnya yakni pada rezim orba yang telah terjadi kekacauan. Sehingga jalan yang paling mujarab untuk meneruskan perjuangan reformasi dan perubahan sosial adalah masuk ke dunia politik, sebab kursi politik perlu diisi oleh suara-suara yang menyuarakan rakyat. Teori macam apa yang mereka makan sehingga jalan tersebut diambil sebagai jalan perubahan sosial. Kultur akademik yang lebih senang mencetak generasi yang siap kerja menjadikan mereka berlomba-lomba untuk IPK yang tinggi agar mereka lulus kualifikasi, materi kuliah yang melangit dibumbui teori-teori angkuh menjadikan mereka bebal tehadap realita yang terjadi dan bingung harus berbuat apa, dan yang miskin hanya dijadikan deretan angka yang pantas dibuat rumus-rumus statistik. Suara-suara kritis mereka menjadi angin sepoi-sepoi yang membuat elit dapat menikmati suasana di sore hari dengan secangkir teh.
Tak ingatkah mereka dengan sosok Marsinah, Samaoen, Udin, dan Tan Malaka, yang memberikan teladan bahwa perubahan bukan berasal dari teori di bangku kuliah atau melacurkan misi intelektual ke dunia politik melainkan keberpihakan kepada mereka yang tertindas oleh sistem busuk dan ikut berjuang dengan suara-suara lirih mereka untuk menyuarakan keadilan yang selama ini dirampas. Misi pendidikan adalah untuk sebuah kemerdekaan dari sistem yang memperbudak, kesadaran akan diri manusia yang utuh, dan nilai kemanusiaan, bukan mencari kerja semata. Inilah cita-cita yang hendak ditujukan Hatta dan Ki Hadjar Dewantara kepada kita. Uluran intelektual mahasiswa terhadap petani yang tertindas, PKL yang digusur, anak yang busung lapar, TKW yang disiksa, dan jutaan orang miskin yang semakin gamang melihat masa dapan akibat akses hidup yang semakin sulit, sangat dibutuhkan untuk menyuarakan jerit mereka kepada para elit yang tak becus mengurusi dan tak berpihak. Wahai mahasiswa jika benar engkau diutus ke muka bumi sebagai agents of change buktikan kepada kami bahwa itu tak sekedar celotehan dunia akademis yang mewah. Kami petani butuh tanah. Dengar!
Yanuhardi
Didaulat sebagai mahasiswa paling sarkas dalam Vodka edisi #2
0 komentar:
Posting Komentar