Rabu, 07 September 2011

HABITUS?

Kita tidak bisa menafikan bahwa bangsa ini sekarang tengah mengalami kehilangan karakter dan nilai-nilai kepribadiannya. Hampir setiap hari panca indera rakyat selalu disuguhkan aneka berita yang bak drama selalu mempertontonkan perebutan kekuasaan dan kekayaan. Motivasi sebagian besar parpol dan politisi sekarang telah berpindah haluan bukan lagi untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara serta mengabdi kepada rakyat akan tetapi semata-mata mengejar “fantasi politiknya”.
Dalam ranah birokrasi dan penegakan hukum (law enforcement), para birokrat dan aparat hukum di negeri ini telah terkotori oleh bermacam-macam ambisi, hasrat, serta syahwat politis yang bersifat pragmatis. Sehingga hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah terkontaminasi oleh tindak korupsi, yang menjadikannya tidak lagi konsisten dan loyal dalam memperjuangkan “perut rakyat” (kesejahteraan-red). Maka dari itulah menurut hemat saya diperlukan suatu kekuatan gerakan rakyat yang solid untuk memberangus kebobrokan tersebut.

Kekuatan rakyat ini didorong oleh akumulasi-akumulasi kekecewaan serta perasaan rakyat yang sudah jengah menjadi pihak yang seolah-olah hidupnya terombang-ambing tanpa pilihan. Rakyat hanya tetap sebagai objek, baik dalam proses pembangunan apalagi dalam proses pengambilan kebijakan. Karena seyogyanya rakyat memiliki kekuatan yang tak mudah dikalahkan maka dari itu tak pantaslah jika rakyat harus selalu menjadi pihak yang diobok-obok. Kekuatan semacam ini dalam teori Sosiologi dikenal dengan konsepsi habitus. Habitus adalah kesadaran mental atau kognisi dalam menghadapi persoalan kehidupan sosial, diekspresikan secara kolektif dalam aksi yang didasari oleh kesamaan keyakinan, ide dan visi. Konsepsi habitus ini pertama kali dikembangkan oleh seorang Sosiolog Prancis bernama Pierre Bourdieu, dalam bukunya Gothic Architecture and Scholasticism (1977).
Wajar, rakyat saat ini sangat mudah tersulut emosinya. Pemicunya? sebagai contoh bagaimana mungkin seorang tahanan yang selalu menjadi headline berbagai media massa bisa keluar masuk tahanan dan bahkan melancong ke berbagai negara?, sangat kontras ditengah berbagai himpitan persoalan-persoalan rakyat. Diperparah perilaku politisi yang koruptif serta menjamurnya mafia hukum dan peradilan.
“Perilaku ini sebagai perilaku segerombolan manusia yang sangat merusak. Gerombolan itu melakukan penghancuran dan menikmati kepuasan puncak melalui tindakan koruptif dalam menggerogoti uang rakyat yang seharusnya antara lain dipergunakan untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak yang terlantar,” ujar Erich Pinchas Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness. Bahkan Martin Heidegger (1966) dalam Discourse of Thinking, menyebut perilaku ini sebagai perilaku manusia yang tidak berakal sehat. Ironis!
Maka sebagai kesimpulan logis dari semua itu, bila ini dihayati, hal yang paling mendasar yang bisa kita lakukan untuk melakukan perubahan atas berbagai “penyakit” ini diantaranya adalah tetap menjaga suatu kondisi lingkungan sosial dan akademik yang “sehat” dimana akan membawa kita tetap pada kultur masyarakat yang kritis, kreatif, inovatif, yang akan menjadi modal dalam menjalankan kekuatan habitus tadi, karena seluruh rakyat sangat berharap metamorphosis kegelapan Indonesia menjadi lebih baik dan kembali menampilkan karakter dan nilai-nilai kepribadiannya bukan hanya sekedar lamunan utopis belaka. Wallahu a’lam!

Hamdan Hamdani

Mahasiswa Sosiologi Semester VI

1 komentar:

Rohman Darmawan mengatakan...

separatos,

Posting Komentar

handapeunpost