Rabu, 14 September 2011

'Gak ada pulus, 'gak bisa Ngampus

Oleh : Yanuhardi*

Setiap tahun sekali kampus menyelenggarakan ritual penerimaan mahasiswa baru. Dari ujung desa hingga kota calon mahasiswa berbondong-bondong membanjiri meja panitia penerimaan mahasiswa untuk mendaftarkan diri atau sekedar bertanya seputar prosedur pendaftaran. Calon mahasiswa bak ribuan lebah yang yang datang dari tiap penjuru menghampiri harumnya bunga gengsi kampus. Restu dan doa orang tua menjadi amunisi semangat untuk meraih cita-cita yang diidamkan. Bertaruh dengan apa yang mereka miliki dari cincin perkawinan kedua orang tua yang berharga hingga sepetak tanah peninggalan kakek buyutnya rela dijual demi menghidupi anaknya yang merantau menuntut ilmu di perguruan tinggi. Seringkali kita mendengar istilah dari para orang tua jika warisan yang paling berharga bukanlah harta melainkan ilmu, kata tersebut menjadi belati yang menancap dibenak pikiran anak-anak mereka yang kuliah. Walaupun tak banyak yang berkata demikian setidaknya para orang tua masih menaruh percaya jika perguruan tinggi dapat menyulap putra-putri mereka menjadi insan yang diharapkan mampu mengubah keadaan keluarga. Harapan besar ini menjadi bunga mimpi para orang tua.

Dengan setumpuk persiapan calon mahasiswa mengikuti segala apa yang menjadi aturan kampus. Aneka persyaratan disuguhkan kepada mahasiswa untuk segera dipenuhi dari uang hingga foto ukuran 4 x 6. Untuk urusan ini mahasiswa mesti menyiapkan tenaga ekstra untuk mondar-mandir kampus-rumah. Bahkan harus rela panas-panasan demi mendapat giliran. Kesibukan mendaftarkan diri menjadi mahasiswa lebih repot dari mengurus KTP di kecamatan. Tak hanya itu uang masuk kampus menjadi hal yang mesti dinomorwahidkan pasalnya ada istilah ‘gak ada pulus gak bisa ngampus, menjadi sebuah jargon yang membanggakan. Tergambar jelas dari sebuah spanduk di aula kampus kalau tak registrasi berarti dinggap mengundurkan diri walaupun telah lulus ujian seleksi masuk, tak ada kompensasi waktu, semuanya diatur sedemikian ketat bak pos penjagaan Koramil. Tak ada ruang untuk menyampaikan alasan atau keluhan bahkan protes. Pokoknya ‘Anda lulus, ada pulus, bisa ngampus. Begitulah skenario yang dimainkan kampus. Apalagi sebagian kampus telah mengubah dirinya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), kampus tersebut statusnya milik Negara tapi untuk urusan pembiayaan dikembalikan kepada kebijakan kampus itu sendiri. Sederhananya, kampus musti mencari pembiayaan sendiri dan sasaran empuknya adalah memungut uang selangit dari mahasiswa karena Negara sudah tidak mau repot-repot menanggung beban pendidikan perguruan tinggi yang tinggi. Negara percaya jika dunia perguruan tinggi mulai beranjak dewasa artinya mereka harus membiasakan diri menanggung beban dan kepada jutaan mahasiswa Negara berpesan bahwa kuliah menjamin hidup Anda lebih baik maka siapkan uang lebih untuk menyambutnya. Tingkah Negara yang tak berniat memajukan bangsanya terlihat dari semakin sulitnya akses pendidikan bagi si miskin. Privatisasi kampus kian memperburuk keadaan ini.

Kenapa Negara setega itu membiarkan anak bangsanya banting tulang dan otak untuk memikirkan biaya kuliah, jaminan untuk mendapatkan pendidikan murah dan berkualitas hanya sebuah fatamorgana. Bagi mereka yang miskin bangku kuliah adalah mimpi yang mengharukan jika kebetulan dapat kuliah siapkan  IPK tinggi untuk syarat mendapat beasiswa. Akses pendidikan yang begitu berliku menjadi tambang emas bagi sebagian kampus untuk mengeruk untung dari keringat orang tua yang membiayai. Bagi si kaya tak ada masalah untuk urusan ini karena uang yang berbicara, kocek tebal dijamin mendapat kampus bintang lima, dengan fasilitas superkomplit. Kampusnya orang kaya menjadi gengsi tersendiri sebab untuk meneruskan siklus status orang tuanya yang borju. Bagi yang miskin masih tersedia kampus yang menampung dengan biaya rendah. Tapi tetap saja pungutan terhadap mahasiswa merebak apalagi dalam suasana penerimaan mahasiswa baru. Bak jamur dimusim hujan, elit kampus beserta rombongan panitia ospek ramai membicaran berapa biaya yang mesti dibebankan kepada mahasiswa. Penetapan biaya ospek yang sepihak seringkali menjadi lahan perebutan untung sampai kurang memerhatikan aspek subtansi apalagi bicara peraihan ekspetasi bagi mahasiswa masih jauh sekali. Mahasiswa hanya menjadi sapi perahan yang musti patuh dari membayar biaya ospek hingga mematuhi aturan panitia tanpa diberikan ruang berpendapat atau bertanya, kalaupun ada bertanya soal rasionalisasi biaya ospek seribu alasan berapi-api telah dipersiapkan. Ini tercermin dari penyelenggaran ospek di UIN Sunan Gunung Djati Bandung pada 8-10 September 2011 lalu.

Dengan menggunakan istilah OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik) ala UIN ribuan mahasiswa memadati lapangan bola yang disulap menjadi arena ospek bak pasar malam yang penuh sesak pengunjung. Terik matahari yang menyengat hingga tiupan angin yang berdebu merangsek masuk paru-paru menjadi perjuangan getir untuk mendapat iming-iming sertifikat syarat sidang kelak. Mahasiswa berjubel berebut fasilitas yang menjadi hak mereka karena telah membayar. Tapi tetap saja panitia kewalahan menghadapi tuntutan mahasiswa yang tidak mendapat fasilitas. Untuk menghadapi tuntutan panitia menyiapkan segudang retorika alasan yang menenangkan. Semua itu dilakukan karena mahasiswa menilai cukup kecewa dengan pelayanan dan fasilitas yang disediakan. Mahasiswa menjadi objek permainan yang mengahasilkan tender yang menguntungkan. Sedang hak mereka diabaikan.

Tak sampai di sana mahasiswa dibebani biaya Opak. Untuk mengenal bagaimana cara kuliah, SKS, prosedur mendapat nilai, mengajukan cuti kuliah, dsb. Dibebani biaya juga dengan iming-iming andalan adalah sertifikat yang kelak menjadi syarat sidang. Mahasiswa terus dibodohi dengan segala aturan yang diciptakan dan harus menurut karena elit kampus dipersenjatai kuasa nilai, DO (drop out), bahkan kesulitan birokratis yang siap menanti jika terdapat mahasiswa bendel terhadap peraturan. Elit kampus pandai menggarap kebijakan yang menghasilkan untung dengan melihat kuantitas mahasiswa yang membludak menjadi ladang emas yang siap digarap. Penekanan biaya prakuliah yang diwajibkan kepada seluruh mahasiswa baru melebihi wajibnya zakat fitrah. Mahasiswa miskin yang tak mampu bayar walaupun dengan sumpah serampah dirinya tak memiliki uang untuk membayar tetap saja harus dilengkapi dengan surat pertanggungjawaban yang aneh. Akibatnya perlakuan diskriminasi pelayanan kerap menghampiri. Suara mahasiswa dibungkam dengan sederet aturan birokratis. Ruang protes dilumpuhkan dengan nada sinis DO. Padahal seharusnya kampus mencontohkan dirinya sebagai ruang demokrasi yang dewasa tidak bersifat feodalistik yang mendudukan dan menundukan mahasiswa sebagai hamba yang mesti taat dan patuh kepada aturan kampus yang hendak menjadi raja.

Mahasiswa disubordinasikan sebagai kelompok akademis yang pasif yang segalanya diarahkan. Karena jika tidak demikian mahasiswa cukup berbahaya jika mampu mengendus kebusukan birokrasi kampus. Maka dari itu, beasiswa menjadi obat mujarab yang ditawarkan kepada mahasiswa kritis tapi kere, ancaman nilai tidak keluar akibat banyak protes, atau ancaman yang lebih ngeri sekaligus senjata terakhir adalah DO. Segudang aturan yang memaksa dipersiapkan untuk membuat gertakan agar mahasiswa tak berani kritis atau protes. Pokoknya turuti aturan kelak Anda akan lulus cepat dengan nilai yang memuaskan. Itulah jalan yang berusaha ditawarkan. Tapi jika kita menuruti cara hidup kampus semacam ini apa bedanya kita sama anak sekolahan SD yang ingusan. Selamanya mahasiswa tak dapat menggunakan suara kritis untuk mendapatkan hak yang semestinya ia dapatkan. Perubahan yang lebih baik hanya milik intepretasi elit kampus saja sedang kita jika ikut campur mengemukakan gagasan dinilai mendikte atau ‘sok tahu karena kita belum mampu membuat skripsi. Jika begitu kampus akan menjadi tempat yang nyaman bagi para penyamun sedang kita mahasiswa terlelap dalam aktivitas pengejaran nilai akademis tanpa sempat mengkritisi, bertanya, atau memberi usul terhadap kebijakan kampus.

*Aktif sebagai mahasiswa Sosiologi yang taat pada kedua orang tua.


0 komentar:

Posting Komentar

handapeunpost