
Hanya saja keutuhan masyarakat mungkin akan terpengaruh oleh konteks sosial sekarang. Analoginya lebih pada posisi yang diunduh dari tingkah laku westernisasi daripada rasional dan yang diperlukan adalah pola untuk membangun kembali kesadaran masyarakat dalam mempertahankan karakteristik agar tidak tercemar oleh kondisi sosial Barat yang memang diakui terlalu ekstrim (Saleh Fauzan. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. h. 329-330).
Contoh pergaulan (melakukan tingkah laku lebih “bukan koridor” dalam budaya timur). Bukankah dengan hadirnya kondisi itu akan sangat mengancam bagi masyarakat timur khususnya Indonesia? Apalagi jika telah dilakukan, maka penyelewengan pun pasti terjadi dan itu akan lebih sulit ke depannya karena kendala itu seperti pengucilan masyarakat setempat.
Kemungkinan besar yang harus dimiliki selanjutnya untuk diterapkan adalah retorika sosial atau kecerdasan untuk terus memainkan dalam mempengaruhi pikiran mereka (kaum muda) dalam bentuk pemokusan kembali masalah tingkah laku, seperti di sekolah, rumah, dan pihak-pihak terkait lainnya yang berperan serta supaya lebih kuat dalam mempertahankan wilayah beserta karakteristik yang memang telah tertanam sejak dulu kala. Tak pelak kalau kedudukan agama benar-benar berpengaruh, terutama dalam permasalahan sosial yang dihadapi.
Selanjutnya, penanganan dan solusi ke depan harus lebih diupayakan guna menunjang perpolitikan. Kenapa bisa hal itu yang dijadikan patokan? Pertama, selain sebagai jawaban. Di sisi lain kedudukan itu begitu penting dalam ranah kepemimpinan atau kekuasaan seseorang. Contoh sebagai kepala Negara salah satunya untuk pemberdayaan pembangunan di dunia sosial, yang dibarengi agama sebagai pengendali moral di samping pengendalian emosi pribadi, guna memajukan kepentingan bersama dengan kerjasama pula atau masyarakat dulu lebih dikenal gotong royong.
Ada satu hal yang bisa memanipulasi konteks dalam lingkup sosial yaitu quick account. Kajian ilmu statistik memang bagus dalam ilmu eksak terlebih penelitian yang mencakup wilayah. Kedua, pengaruh itu begitu kuat, maka tak heran jika dalam memainkan peran politik (dalam artian sosial juga) pada akhirnya banyak menimbulkan kecurangan-kecurangan yang dimanfaatkan oleh para pemimpin atau pejabat itu sendiri (untuk kepentingan pribadi dan kelompok padahal kedudukan mereka terfokus pada prosedur sebagai penyeru aspirasi rakyat).
Aspirasi yang diberikan kepada masyarakat berupa bukti statistik dalam hitungan angka yaitu mengalami peningkatan sebagai kemajuan dari pembangunan. Padahal kenyataannya jelas berbeda kecuali dampak negatif yang kian menyengsarakan rakyat, bukan kesejahteraan. Semua bermula dari kekuasaan yang menjamin kesejahteraan diri dan kelompoknya. Hal tersebut kian menggelapkan mata, bahkan imanpun tergadaikan. Di sinilah kita harus mengulang dari titik nol. Mulai dari sisi religius atau keimanan sebagai penopang keteguhan hati (emosi keagamaan menurut Koentjaraningrat) dan sekiranya telah yakin maka teknik selanjutnya menerapkan dalam kehidupan sosial yaitu untuk lebih meyakinkan. Di sana semua akan terbuka, tergantung dengan cara kerja masing-masing, setelah terasa dan terpahami maka akan timbul rasa takut jika kita mau atau melakukan penyelewengan.
Disadari atau tidak sisi humanis telah muncul di dua sisi yang bertentangan, tanyakan kepada diri sendiri kira-kira lebih condong kemana antara egois positif dan egois pribadi? tapi penulis sendiri tidak begitu yakin dengan jalan tersebut, walaupun dijalani dengan keteguhan hati, mungkinkah hal itu akan bertahan atau mungkin tergoyahkan dan entah siapa atau apa yang bisa mengembalikan kembali kepada keteguhan hati.
Iis Suarsih Wihanda
Mahasiswi Sosiologi Semester VI
0 komentar:
Posting Komentar