Kamis, 05 April 2012

METODE SEJARAH IBNU KHALDUN: SUATU PRAGMEN MUKADDIMAH IBNU KHALDUN

PENDAHULUAN
Dari sekian banyak pemikir muslim nampaknya Ibnu Khaldun menjadi pelopor bagi perkembangan ilmu sejarah baik dari segi metode ataupun kritiknya terhadap karya-karya sejarah sebelumnya. Sejarah sebagai suatu disiplin ilmu menjadi nampak berkembang berkat jasa Ibnu Khaldun. Hal tersebut berimplikasi khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan keislaman dan juga umumnya merupakan sumbangsih keilmuan secara luas. Karena diakui atau tidak karya-karya Ibnu Khaldun dijadikan rujukan oleh para ilmuan barat (orientalis). Semisal sejarawan Arnold Toynbee, yang menyatakan bahwa “Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah yang menguraikan tentang sejarah umum, telah menciptakan dan menyusun filsafat sejarah yang tidak syak lagi merupakan hasil karya terbesar dalam ilmu yang pernah diciptakan oleh otak manusia dalam ruang dan waktu manapun”[1].
Asumsi yang melekang kuat dalam benak masyarakat muslim selama berabad-abad adalah selepas runtuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol, peradaban Islam menjadi mundur dan hancur. Peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat, bergerak turun menuju titik nadir. Cerita kegemilangan dan optimisme sarjana raksasa Islam Klasik menguap. Berganti menjadi pesimisme dan glorifikasi atas tradisi dan warisan masa silam. Inovasi adalah sebuah kelangkaan. Sementara ketundukan dan kepasrahan adalah sikap yang dominan.
Banyak sejarawan sepakat dengan asumsi di atas. Bagi mereka, pasca keruntuhan Baghdad, peradaban Islam telah bangkrut dan gulung tikar. Yang tampil ke permukaan adalah sekadar pengulangan; tanpa berhasil menjelitkan nuansa baru. Budaya komentar (syarh), penjelasan (hasyiyah), ringkasan (talkhis) dan membuat syair (nudhum) adalah lebih dari sekadar bukti untuk meneguhkan tesis kemunduran dan kebangkrutan peradaban Islam.
Figur-figur brilian semodel Ibn Rushd yang mencoba mensinergikan antara syariat dengan filsafat, al-Farabi yang menggagas konsep “al-Madinah al-Fadhilah” dan Ibn Arabi dengan tawaran Wihdat al-Adyan-nya merupakan figur yang hampir mustahil terlahir kembali. Mayoritas para sarjana Islam Klasik sesudah mereka yang hidup pasca keruntuhan Baghdad memilih taklid (budaya epigonisme) dalam segala bidang sebagai corak dinamika intelektual. Sebuah genre yang bertolak belakang dengan style dinamika intelektual pra keruntuhan Baghdad[2].
Sesungguhnya, opini di atas tidaklah sepenuhnya tepat. Bahwa peradaban Islam selepas jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol tak berdaya, benar adanya. Namun, ia tak benar-benar mati. Beberapa sarjana besar juga terlahir dalam masa kegelapan Islam. Mereka tidak hanya mengekor. Mereka justru kelak menjadi sarjana besar karena inovasi-inovasi dan langkah-langkah intelektualnya yang begitu meraksasa. Teori-teori ilmiah mereka bahkan tetap eksis hingga masa sekarang. Salah satunya ialah Ibnu Khaldun yang memberikan sumbangsih keilmuan di bidang ilmu sejarah, sosiologi, politik, bahkan juga ilmu ekonomi.
Maka dari itu penulis akan sedikit menguraikan perihal metode penulisan sejarah Ibnu Khaldun dalam tulisan ini. Bagaimana Ibnu Khaldun menguraikan metode penulisan sejarah yang berisikan kritikan-kritikan terhadap para sejarahwan sebelumnya yang kemudian terangkum dalam filsafat sejarahnya yang tidak diragukan lagi merupakan gagasan yang sangat brilian di bidang ilmu sejarah dan sosiologi.

PEMBAHASAN
Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 Hijrah bersamaan dengan tanggal 27 Mei 1332 Masehi. Dengan nama lengkap ‘Abd ar-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadhrami atau Abu Zaid ‘Abd ar-Rahman ibn Khaldun[3]. Beliau dilahirkan dari keluarga yang berasal dari Sevilla, Spanyol. Ketika beranjak remaja, beliau belajar al-Qur’an dari kedua orang tuanya, para ilmuwan dan sejarawan Tunisia dan Spanyol. Pada tahun 1375 M, Beliau berhijrah ke Granada untuk mengasingkan diri dari kondisi Tunisia yang mulai ricuh akan perebutan kekuasaan. Ternyata kondisi perpolitikan Granada juga sedang memanas, maka beliau akhirnya memutuskan untuk pergi ke Aljazair (Semenanjung Arab).
Di Aljazair, beliau menetap di kampung kecil bernama Qal’at Ibnu Salamah sebuah wilayah antara Fez dan Tunis. Disana waktunya dihabiskan mempelajari ilmu pengetahuan dan menulis buku. Dari tempat itu pula, terbitlah beberapa buku tulisan Ibnu Khaldun yang luar biasa. Seperti Kitab al-‘Ibar[4]. Kitab ini mengandungi enam jilid dan yang paling terkenal, ialah kitab Mukaddimah. Kitab ini pula yang menjadi rujukan umat Islam dalam bidang sosial, ekonomi, sejarah, filsafat dan tata pemerintahan. Kitab Mukaddimah menerangkan dengan jelas mengenai perubahan sosial dalam sebuah masyarakat, rangkuman sejarah umat-umat terdahulu, proses pembentukan Negara, serta proses pembentukan tata niaga industri dan pertanian. Akibat karya-karyanya yang termahsyur inilah, beliau kemudian dikenal sebagai “Prolegomena: oleh para ilmuwan barat yang artinya Ilmuwan yang mengenalkan berbagai ilmu mengenai kehidupan manusia (sebuah pondasi awal berdirinya ilmu sosiologi modern). Namun meskipun Ibnu Khaldun banyak diperbincangkan sebagai penggagas berdirinya sosiologi tinimbang Ibnu Khaldun sebagai pengasas perkembangan filsafat sejarah, hal ini dikarenakan pengkajian terhadap karya-karya Ibnu Khaldun terjadi pada penggal pertama abad ke-20, dan ketika itu sosiologi termasuk ilmu pengetahuan baru . terlebih lagi karena pada waktu itu belum banyak yang mengkaji metoda-metoda penelitian sosiologi yang baru dan tentunya disamping Mukaddimah membahas filsafat sejarah, didalamnya pun tercantum substansi sosiologi[5].
Kebijaksanaan Ibnu Khaldun dalam menuangkan pikirannya ke dalam tulisan membuat Sultan Mesir, Sultan Burquq mengangkatnya sebagai Kadi (Hakim Tinggi Negara). Dan beliau mendapat gelar “Waliyudin”. Sebagai Hakim Negara Mesir, beliau merupakan penasehat sultan dalam berbagai bidang. Belaiu memberikan terobosan-terobosan penting mengenai pembelajarn sejarah, tata kelola pemerintahan kerajaan, pemberdayaan ekonomi, ilmu-ilmu alam (fisika dan kimia) serta memberikan konsepsi besar akan sebuah pemerintahan yang ideal. Beliau beranggapan bahwa tugas Negara (kerajaan) adalah mensejahterakan rakyatnya. Negara bukan sebagai lintah penghisap yang terus-terusan menghisap harta rakyatnya melalui pajak dan retribusi. Beliau mendorong agar kerajaan melakukan perdagangan bebas dengan Negara lain agar mendapatkan devisa. Beliau juga menganjurkan agar masyarakat bisa dikelola dengan baik oleh Negara agar timbul hubungan timbal-balik yang menguntungkan.
Dr. Zainab al-Khudhairi meringkas kehidupan Ibnu Khaldun ke dalam empat fase, hal ini dirasa penting karena banyak kritikan oleh para ahli sejarah masa kini tentang berbagai perjalanan, perantauan, dan kepribadian-kepribadian Ibnu Khaldun[6]. Fase-fase tersebut yakni:
Pertama: fase studi hingga usia dua puluh tahun. Atau dari tahun 732 H sampai dengan 752 H, fase ini ai lalui di Tunis.
Kedua: fase berkecimpung di dunia politik, fase ini berlangsung lebih dari dua puluh tahun yakni dari tahun 752 H sampai dengan 776 H.
Ketiga: fase pemikiran dan kontemplasi di benteng sulaiman milik banu ‘Arif. Fase ini berlangsung selama empat tahun, yakni hingga akhir tahun 780 H.
Keempat: fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan. Ketika berada di Tunisyakni pada tahun 780 H hingga 784 H ia hanya mengajar saja, sedangkan ketika Ibnu Khaldun menetap di Mesir ia melakukan keduanya. Fase ini berlangsung dari tahun 784 H hingga 806 H yakni ketika Ibnu Khaldun meninggal dunia. Dalam fase ini pula ia merevisi karyanya al-Ta’rif (malah ada yang menyatakan bahwa karya itu ia susun semuanya di di Mesir), Mukaddimah, dan sebagian al-Ibar.    
Metode Sejarah Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah menyatakan bahwa:
“sejarah adalah salah satu disiplin ilmu yang dipelajari secara luas oleh bangsa-bangsa dan generasi-generasi. Pada permukaanya sejarah tidak lebih daripada sekadar keterangan tentang peristiwa-peristiwa politik, negara-negara, dan kejadian-kejadian-kejadian masa lampau. Ia tampil dengan berbagai bentuk ungkapan dan perumpamaan. Sedang pada hakikatnya terkandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran (tahqiq), keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal benda wujudi, serta pengertian dan pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa”.[7]
Dari kutipan di atas Ibnu Khaldun membagi pembabakan sejarah kedalam dua bentuk, yakni ilmu sejarah sebagai landasan lahiriahnya atau “seni sejarah” dan sejarah sebagai hasil dari kontemplatif atau batiniah. Yang pertama adalah uraian tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa yang telah lampau dan perbincangan tentang bagaimana negara-negara tegak, berkembang dan kemudian mengalami kehancuran. Sedangkan yang kedua adalah salah satu cabang dari hikmah atau filsafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang mengendalikannya.[8]
Dalam bentuk yanng kedua tersebut Ibnu Khaldun menerapkan pengkajiannya atas sejarah dengan menggunakan pendekatan filsafat, ia menguraikan bagaimana sejarah sebagai suatu objek disusun berdasarkan asas-asas ilmu sejarah. Ia melakukan kajian terhadap karya-karya sejarah para sejarahwan sebelumnya, yang dengan sikap kritisnya ia banyak mendapatkan banyak kekeliruan dalam karya-karya tersebut.
Menurut Ibnu Khaldun ada beberapa sebab yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam penulisan sejarah, diantaranya yakni[9]:
Pertama: adanya sikap kepemihakan kepada suatu kepercayaan atau pendapat. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya kejernihan pikiran seseorang yang menyebabkan kaburnya pengambilan sumber informasi tentang objek yang akan dituliskan. Denmgan kata lain kesalahan pertama dalam penulisan sejarah ialah kecenderungan orang untuk menerima begitu saja berita yang sesuai dengan pendapat atau kepercayuaannya tanpa penyelidikan terlebih dahulu.
Kedua: adanya kepercayaan yang berlebihan terhadap para penutur, padahal penutur apapun seharusnya bisa diterima apabila telah dilakukan ta’dil dan tajrih. Kesalahan yang di sebabkan kebanyakan para ahli sejarah ialah terlalu yakin terhadap para penutur, hal ini akan menyebabkan kefatalan dalam penulisan sejarah karena si penulis tidak hati-hati terhadap para pewarta[10].
Ketiga: ketidaksanggupan memahami apa yang sebenarnya dimaksud. Banyak para penulis sejarah yang jatuh dalam kesalahan karena mereka tidak dapat memahami dari hakikat suatu peristiwa masa lalu. Dan juga karena mereka terlalu melajur persepsi mereka terhadap suatu peristiwa yang sebenarnya persepsi mereka keliru tentang hakikat sejarah tersebut.
Keempat: kepercayaan yang salah terhadap kebenaran. Masudnya ialah si penulis sejarah terlalu memutlakkan kebenaran yang dituturkan oleh si penutur tanpa mengotak-atik lagi kebenaran tersebut.
Kelima: ketidaksanggupan menempatkan dengan tepat suatu kejadian dalam hubungan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, karena kabur dan rumitnya keadaan. Si pencatat merasa puas menguraikan peristiwa seperti yang dilihatnya saja, akibatnya akan memutarbalikan peristiwa itu. Si penulis sejarah harus lebih teliti lagi dalam meneliti asal usul suatu peristiwa sejarah karena ditakutkan adanya sebagian orang yang tidak bertanggung jawab berupaya memperdaya orang banyak dengan menciptakan beberapa peristiwa dan hal ini tentunya tidak benar.
Keenam: keinginan umum untuk mengambil hati orang-orang yang berkedudukan tinggi (penguasa) dengan jalan memuji-muji, menyiarkan kemasyhuran, membujuk-bujuk, menganggap baik setiap perbuatan mereka dan memberi tafsiran yang selalu menguntungkan semua tindakan mereka. Hal ini menyebabkan kesalahan yang membahayakan dalam penulisan sejarah, karena jika seorang sejarahwan melakukan tindakan ini maka hasil penulisannya hanyalah kebohongan belaka.
Ketujuh: tidak mengetahui hukum-hukum watak dan perubahan masyarakat. Maksudnya ialah kebanyakan para ahli sejarah tidak memahami hukum-hukum perubahan pada masyarakat. Hal ini penting karena dalam penulisan suatu peristiwa sejarah perlu adanya pertimbangan konteks pada masanya sehingga akan memahami kemungkinan dan ketidakmungkinan yang mungkin terjadi. Menurut Ibnu Khaldun sebab ketujuh ini merupakan sebab paling penting karena merupakan awal dalam penulisan sejarah.
Dari sebab-sebab di atas kita dapat memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun merupakan sejumlah kritikan terhadap para pendahulunya yakni para ahli sejarah. Kemudian disamping hal itu ia juga membenahi metode-metode penelitian sejarah dalam suatu formulasi yang di kemudian hari dijadikan rujukan oleh para sejarahwan barat.
Namun disamping metode-metode sejarah tersebut masih terdapat kekurangan dalam sebagian karya Ibnu Khaldun. Misalnya Ibnu Khaldun suka mengambil hati para pemegang kekuasaan guna memperoleh suatu jabatan atau previlise[11]. Hal ini cukup memberikan dampak terhadap penulisannya tentang sejarah karena ia menerima sumber berita yang tak mampu bertahan di hadapan kritik sosial. Seperti yang tertuang dalam mukaddimahnya, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa:
“Adapun cerita tentang kecanduan Harun ar-Rasyid terhadap khamr sama sekali tidak benar. Maha suci Allah, sungguh kami tidak mengetahuinya telah melakukan kejahatan yang demikian. Hal ini tidak cocok dengan kedudukan dan tugas ar-Rasyid  melakukan kewajiban-kewajiban agama, dan keadilan dalam kedudukannya sebagai seorang khalifah      at-Thabari dan sejarahwan lain menceritakan bahwa ar-Rasyid shalat nafilah (sunat) seratus rakaat setiap hari. Satu tahun dia berperang melawan orang-orang yang tidak beriman, dan setahun lagi melakukan ibadah haji”[12].    
Dari kutipan di tersebut jelas Ibnu Khaldun tidak konsisten dengan metode-metode yang telah ia kemukakan. Namun meskipun demikian hal tersebut menjadi semacam kewajaran karena Ibnu Khaldun adalah seorang pemuka jalan dalam perkembangan kemajuan ilmu sejarah, maka jika ia terbata-bata dalam menempuh jalannya (menerapkan metode-metode sejarah yang ia formulasikan) bisa kita maklumi karena lagi-lagi bagi seorang pemuka jalan tentunya hambatan dan rintangan bisa dikatakan lebih berat. Dan membincang sejarah kita bisa mengkacamatainya lewat dua perspektif yakni tinjauan analitik sejarah dan tinjauan kontemplatif sejarah atau tinjauan filosofis terhadap sejarah.


SIMPULAN
Sebentuk refleksi dari jari-jemari yang menari di atas mesin dengan berjajarnya huruf-huruf alfabet acak, segerombolan kata-kata yang membentuk frase, kemudian sederetan paragraf demi paragraf mengisi kekosongan layar sepuluh inci. Semuanya bersatupadu membentuk serangkaian makna yang tak perlu lagi diulang, karena kami yakin kalau pembaca yang budiman akan sedikit mengerti atau banyak mengenai tema-tema juga bahasannya. 
Setelah panjang lebar namun juga hanya semacam fragmen dari magnum opus-nya Ibnu Khaldun yakni Mukaddimah, kita bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa sejarah tidak melulu membicarakan masa lalu karena pada kenyataannya kita sekarang tidak bisa melepaskan diri untuk terjun bebas dari tautan sejarah, kita terikat dalam sekat-sekatnya untuk kemudian menjalani hari ini dan menggantungkan pengharapan di hari esok.
Maka dari itu penulis jadi teringat penggalaan percakapan dari film V for Vendetta yakni, “bukanlah pedangku yang membunuhmu, akan tetapi masa lalumu lah yang membunuhmu”. Dari penggalan tersebut kita diingatkan agar jangan karam ke dalam masa yang telah lalu (sejarah), dengan terlalu romantis membicarakan masa lalu hingga kita lupa akan hari ini dan asa di hari esok pun sirna.
Sepertinya penulis akan segera menghentikan jari-jemarinya yang menari untuk segera terpaku, karena nampaknya hanya sekian pengotak-atikan kata-kata yang berujung pada makna hasil tafsiran pembaca.

BAHAN RUJUKAN
Choirul Mahfud, 39 Sosiologi Politik Dunia: Dari Socrates Hingga Barrack Obama,
    (Surabaya: Jaring Pena, 2009).
Dr. Zainab al-Khudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1995).
http://lakpesdam.numesir.com/ diakses pada tanggal 25/03/2012.
Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, Ahmadie Thoha (penerj.), (Jakarta: Pustaka Firdaus,
         2000).


[1] Dr. Zainab al-Khudhairi, filsafat sejarah Ibnu Khaldun, ( Bandung: Penerbit Pustaka, 1995), h. 7.
[2] Lihat mawhiburrahman, Membumikan Gagasan Ibn Khaldun (Sebuah Pembacaan atas Konsep Sosiologi dan Filsafat Sejarah) dalam http://lakpesdam.numesir.com/ diakses pada tanggal 25/03/2012.
[3] Choirul Mahfud, 39 tokoh sosiologi politik dunia, (Surabaya: Jaring Pena, 2009), h. 47.

[4] Judul lengkapnya adalah kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabarfi Ayyam al- ‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Zawi as-Sulthan al-Akbar.
[5] Dr. Zainab al-Khudhairi, Op-cit, h. 3.
[6] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, h. 20.
[7]Ibnu Khaldun, muqaddimah, penerjemah Ahmadi thoha, (Jakarta: Pustaka firdaus, 2000) h. 3.
[8] Dr. Zainab al-Khudhairi, Op-cit, h. 44.
[9] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, 45-48.
[10] Maksudnya ialah adakalanya para pewarta itu seorang pendusta dan suka mengada-ngada.
[11] Dr. Zainab al-Khudhairi, Ibid, h. 53
[12] Ibnu Khaldun, Op-cit, h. 28.


Aminurai Imaginans

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bangganya kennal temen-temen sosiologi. hehehe . . . .

iis ta kommen nii, bissa ngga kallo bahass tu tokkoh amma sumbernyo gittu hehe, biar lebbi sekksi gittu.

makkassi yo . . .

Anonim mengatakan...

keren pisan barudaks
lanjutkan melahirkan karyakarya anyar

vodka zine selalu jd spiritt man...

Posting Komentar

handapeunpost