Kamis, 15 September 2011

ADA APA DENGAN OPAK KEMARIN?

Lapangan sepak bola tiba-tiba dipenuhi oleh banyak mahasiswa baru. Mereka diharuskan untuk mengikuti tradisi mahsiswa sebelum mulai melaksanakan kegiatan belajar. Tradisi yang dimaksud adalah ospek atau orientasi dan pengenalan bagi para mahasiswa yang baru masuk. Laki-laki dan perempuan tidak terkecuali.memakai pakaian yang seragam hitam dan putih. Sedangkan para panitia tidak semuanya memakai pakaian yang seragam.
Ospek mahasiswa baru kali ini dinamakan opak. Opak yang dimaksud adalah orientasi pengenalan akademik yang diselenggarakan oleh universitas bagi mahasiswa yang hendak masuk perguruan tinggi. Opak UIN Bandung kali ini diikuti oleh lebih 3 ribu mahasiswa baru dari berbagai daerah dan sekolah.

Rabu, 14 September 2011

'Gak ada pulus, 'gak bisa Ngampus

Oleh : Yanuhardi*

Setiap tahun sekali kampus menyelenggarakan ritual penerimaan mahasiswa baru. Dari ujung desa hingga kota calon mahasiswa berbondong-bondong membanjiri meja panitia penerimaan mahasiswa untuk mendaftarkan diri atau sekedar bertanya seputar prosedur pendaftaran. Calon mahasiswa bak ribuan lebah yang yang datang dari tiap penjuru menghampiri harumnya bunga gengsi kampus. Restu dan doa orang tua menjadi amunisi semangat untuk meraih cita-cita yang diidamkan. Bertaruh dengan apa yang mereka miliki dari cincin perkawinan kedua orang tua yang berharga hingga sepetak tanah peninggalan kakek buyutnya rela dijual demi menghidupi anaknya yang merantau menuntut ilmu di perguruan tinggi. Seringkali kita mendengar istilah dari para orang tua jika warisan yang paling berharga bukanlah harta melainkan ilmu, kata tersebut menjadi belati yang menancap dibenak pikiran anak-anak mereka yang kuliah. Walaupun tak banyak yang berkata demikian setidaknya para orang tua masih menaruh percaya jika perguruan tinggi dapat menyulap putra-putri mereka menjadi insan yang diharapkan mampu mengubah keadaan keluarga. Harapan besar ini menjadi bunga mimpi para orang tua.

Rabu, 07 September 2011

Teruntuk Mahasiswa Dari Petani


Kita berada di dunia yang sedang digenggam oleh mereka yang hendak menjadi sang tuankapitalisme. Sang tuan yang begitu culas terhadap mereka yang miskin bahkan jijik untuk dilihat. Para pejabat Negara bersimpuh untuk melayani sang tuan, dengan segala kebijakan yang dikeluarkan demi melayani sang tuan, yaitu dimudahkannya izin mendirikan perusahaan-perusahaan transnasional untuk mengeruk laba habis-habisan di negeri yang kaya ini. Politikus tak ketinggalan menjadi hamba sang kapital agar dirinya mendapat tunjangan dana kampanye hingga akhirnya terpilih jadi pejabat. Maka tak heran apabila terjadi simbiosis mutualisme yang menjijikan demi meraup kepentingan bersama. Kaum intelektual ikut-ikutan menjadi pembela apabila sang tuan melakukan kehilafan, ketika kebocoran pipa milik perusahaan Lapindo disinyalir sebagai akibat gempa bumi Yogyakarta dan diabsahkan dengan dalil ilmiah. Hingga akhirnya sang tuan bebas perkara dan berterima kasih atas kerja ilmiah kaum intelektual yang minus.
Miskin itu menyakitkan. Mereka yang tertindas atas keberadaan sang tuan cukup bersabar sebab potensi mereka telah diberangus oleh kebijakan sang tuan. Untuk pintar saja mereka harus mati-matian membiayai biaya sekolah yang mahal. Akses kesehatan yang seharusnya menjadi hak mereka malah dikomersialisasikan, istilah sakit itu mahal, memang jargon yang membanggakan di negeri ini, arti dari istilah itu menyiratkan kalau mau berobat ya harus bayar. Apalagi untuk bertahan hidup mereka menjadi sekumpulan spesies yang saling memakankanibal. Lihat saja seorang pemulung sampah rela membunuh rekannya sendiri karena perkara memperebutkan lahan sampah yang menjadi sumber mengais rezeki. Bukan persoalan moral mereka yang miskin melainkan mereka lapar. Konotasi menjijikan pun ditujukan kepada mereka, pedagang kaki lima yang kerap ada di tengah kota dianggap sebagai pengganggu ketertiban bahkan pembuat kumuh kota. Mereka yang terpaksa tinggal di bantaran kali dinggap sebagai pemukim liar. Ini kebijakan yang dibuat oleh para pejabat yang lebih setia kepada mereka yang memiliki modal, dan mereka yang miskin hanya dilihat sebagai sampah yang mesti disingkirkan dan dibakar (baca: kios-kios yang menolak relokasi maka pembakaran adalah alternatif yang manjur).

Untitled

Gerakan keagamaan muncul ketika konteks sosial sudah agak menyimpang dari yang semestinya, tanpa kendali. Gerakan ini berfungsi sebagai jalan atau penanganan terhadap problematika sosial. Hal ini, jika dibiarkan terus menerus maka akan mengikis semangat juang masyarakat yang memiliki karakteristik sosial yang telah disepakati (dalam kajian sosiologi agama). Dan masyarakat lokal sebagai salah satu bagiannya, memiliki peran sebagai pengendali di ranah sosial yang dinamis, baik itu di wilayah desa maupun kota.

HABITUS?

Kita tidak bisa menafikan bahwa bangsa ini sekarang tengah mengalami kehilangan karakter dan nilai-nilai kepribadiannya. Hampir setiap hari panca indera rakyat selalu disuguhkan aneka berita yang bak drama selalu mempertontonkan perebutan kekuasaan dan kekayaan. Motivasi sebagian besar parpol dan politisi sekarang telah berpindah haluan bukan lagi untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara serta mengabdi kepada rakyat akan tetapi semata-mata mengejar “fantasi politiknya”.
Dalam ranah birokrasi dan penegakan hukum (law enforcement), para birokrat dan aparat hukum di negeri ini telah terkotori oleh bermacam-macam ambisi, hasrat, serta syahwat politis yang bersifat pragmatis. Sehingga hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah terkontaminasi oleh tindak korupsi, yang menjadikannya tidak lagi konsisten dan loyal dalam memperjuangkan “perut rakyat” (kesejahteraan-red). Maka dari itulah menurut hemat saya diperlukan suatu kekuatan gerakan rakyat yang solid untuk memberangus kebobrokan tersebut.

Herbert Spencer: Sosiologi Evolusioner

Herbert Spencer (1820-1903) menganjurkan Teori Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar) ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas dapat bertahan. Dengan kata lain “yang kuat akan bertahan hidup, sedangkan yang tidak kuat akhirnya akan punah”. Konsep ini diistilahkan dengan “survival of the fittest”. Ungkapan ini sering dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang menentang reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin “laissez-faire” (pasar bebas) dengan mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.
Dalam teori evolusi Spencer, ia mengidentifikasi bahwa masyarakat itu berevolusi melalui dua tahapan: pertama, “masyarakat militan”. Yakni perkembangan masyarakat secara gradual dan dijelaskan sebagai masyarakat yang terstruktur guna melakukan perang, baik yang bersifat defensif maupun ofensif.

handapeunpost